Seikat Pengalaman Untuk Banyuwangi

         Dua pekan pertama di The Attached Elementary School Gwangju National University of Education adalah observasi. Observasi dilakukan agar kami para duta Indonesia yang tergabung dalam 2015 Indonesia-Korea Exchange Programme ini bisa lebih memahami budaya, sistem pendidikan, kurikulum, serta kebiasaan warga sekolah dan warga Korea Selatan pada umumnya. Observasi ini juga merupakan salah satu tujuan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) melalui APCEIU (Asia Pasific Centre of Education for International Understanding) dapat tercapai.

          Observasi diawali dengan pemahaman organisasi di sekolah. Sekolah ini memiliki 24 rombongan belajar, masing-masing grade ada 4 kelas. Ada 33 tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah ini. Masing-masing kelas dibimbing oleh homeroom teacher (sebutan untuk wali kelas). Untuk upper class ada 11 mata pelajaran dengan masing-masing jam yaitu Korean (5 jampel/jp), Mathematic (4 jp), Science (3 jp), Society (3 jp), Moral (1 jp), Phisical Education (3 jp), Art (2jp), Music (2 jp), English (3 jp), Class Conference (2jp), dan Skill (2jp). Sedangkan untuk lower class sama dengan upper class tanpa secience, society, English, dan class conference. Pelajaran Bahasa Inggris mulai diajarkan di kelas 3. Tidak ada pelajaran agama di sana, namun pada mata pelajaran moral mereka diajarkan what should I do and I don’t sebagai perwujudan nilai-nilai universal. Serta bagaimana menerapkan ajaran agama mereka masing-masing dalam kehidupan sehari-hari.

          Secara umum guru SD di Korea Selatan mengajarkan semua mata pelajaran selain Phisical Education, Music, dan English. Namun di The Attached Elementary School Gwangju National University of Education semua homeroom teacher mengajarkannya kecuali Music dan English karena sekolah tersebut adalah binaan UNESCO dan sebagai life school Gwangju National University of Education. Sehingga guru dituntut memiliki kemampuan yang tinggi. Jam mengajar guru dimulai pukul 09.00-16.00, namun jam bekerja guru di sekolah dimulai pukul 08.30-21.00. Kegiatan siswa sebelum jam belajar dimulai adalah membaca buku, saling bertukar cerita dari buku yang telah dibaca atau diskusi. Hal yang cukup menarik adalah siswa secara bergantian memimpin diskusi. Dalam diskusi inilah guru melatih siswa untuk berbicara dengan sopan, mendengarkan saat orang lain bicara, menghargai pendapat orang lain, bahkan melatih gestur tubuh saat berbicara. Misalnya mengatur volume suara, menghadap pada audience saat bicara, mengangkat tangan saat akan menyampaikan pendapat, berdiri saat menyampaikan pendapat, tidak menyela pembicaraan orang lain dan sebagainya. Setiap pagi selama 30 menit hal ini diajarkan di luar jam belajar siswa. Membaca buku sebelum jam belajar dilakukan untuk literasi siswa agar senantiasa terasah.

          Meskipun tidak ada penilaian dalam melatih perilaku (afektif) siswa namun dalam pembelajaran justru menjadi bagian besar dengan asumsi bahwa karakter yang baik akan membimbing mereka menjadi orang yang baik dan sukses. Penanaman nilai-nilai universal sangat nampak dalam kultur sekolah.

         Satu jam pelajaran berjalan selama 40 menit dan selalu ada 10 menit breaktime setiap usai satu jam pelajaran. Pemerintah Korea beranggapan waktu konsentrasi maksimal hanya 40 menit sehingga diperlukan istirahat sesudahnya. Muatan materi dalam sekali tatap muka juga tidak luas namun dikupas secara detil dan mendalam. Kebiasaan baik yang selalu muncul dalam setiap pembelajaran adalah kerja kelompok dan diskusi. Untuk melatih kemampuan dan keberanian siswa dalam menyampaikan opini dan pertanyaan mendapat perhatian serius. Guru memiliki form penilaian setiap mata pelajaran untuk melihat perkembangan masing-masing siswa saat diskusi. Penilaian ini dilakukan berkesinambungan namun tidak dilaporkan secara terulis pada orang tua siswa.

         Setelah dua minggu berselang maka tiba saatnya saya mengajar. Sudah seabreg materi ajar yang saya siapkan. Untuk minggu-minggu awal pembelajaran masih bersifat cooperative teaching bersama homeroom teacher. Awal pembelajaran sharing dengan Korean, saya mengajarkan asal mula Banyuwangi. Siswa memahami legenda Banyuwangi dalam Bahasa Inggris kemudian diterjemahkan dalam bahasa Korea dengan huruf Hangul (alfabet Korea). Selanjutnya mewarnai komik legenda Banyuwangi yang sudah saya siapkan dari Banyuwangi dengan bantuan seniman Banyuwangi, Momo. Selain itu juga mengajarkn Lukis Batok. Batok juga saya persiapkan dari Banyuwangi. Siswa membuat patterm gajah uling kemudian diwarnai. Aktifitas pembelajaran sangat menyenangkan. Para siswa Korea memiliki antusias yang tinggi terhadap pengetahuan dan skill baru. Mereka sangat kooperatif dan meyenangkan. Selain itu juga memperkenalkan Indonesia secara general. Meliputi pengenalan 5 pulau besar, rumah adat, dan baju adat. Pembelajaran dalam satu kali tatap muka selalu dalam bentuk kelompok atau pasangan.

         Ada hal menarik dalam pembelajaran kelompok di Korea. Ada kalanya dalam satu kelompok terdapat siswa yang slow learner. Siswa ini akan menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok. Apabila ia belum memahami materi maka teman satu kelompok akan membantu hingga ia mampu. Demikian pula saat presentasi, sang slow learner akan mendapat support dari kelompoknya dan akan jadi keberhasilan kelompok. Hal ini juga merupakan kultur yang patut dicontoh yaitu grow together. Tidak ada satu yang menonjol atau lebih baik dari yang lain, yang ada adalah satu untuk semua dan tumbuh bersama.

          Penilaian yang dilaporkan pada orang tua siswa berbentuk portofolio yang diberikan pada setiap akhir topik atau pokok bahasan. Dalam satu tahun beriksar 5 atau 6 kali laporan portofolio. Formatif juga dilakukan namun hanya untuk mengukur apakah siswa berhasil atau tidak. Jika siswa belum berhasil maka di akan mendapatkan hak bimbingan individu seusai pelajaran sekolah selama 90 menit dari guru remidial yang didatangkan dari luar sekolah.

          Selain kegiatan di dalam sekolah, ada pula kegiatan rutin yang dilakukan di luar sekolah seperti halnya field trip. Biasanya field trip dilakukan sekitar 2-3 bulan sekali. Salah satu field trip yang pernah saya ikuti adalah kunjungan di Tamyang village. Lokasinya 45 menit dari Gwangju metropolitan. Tamyang berada di atas bukit dengan pemandangan cantik. Kanan kiri Tamyang village adalah lembah dan ngarai. Di sana juga terdapat bamboo forest yang cukup luas. Sejuk dan mempesoa. Para siswa diarahkan ke salah satu rumah adat. Mereka belajar memasak kue tradisional bernama “Sal Kang Chong”. Kue ini berbahan dasar beras dan gula, serupa dengan kue jipang di Banyuwangi, hanya saja ada penambahan biji waluh dan kacang tanah. Membuat makanan tradisional dari sumbernya secara langsung terlihat sangat sederhana namun ternyata dampak dari pemberian pengalaman langsung seperti itu bisa memberikan ruang yang luas bagi siswa untuk kreatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *