Integritas dalam Wajah Pendidikan Banyuwangi

Oleh:
Lina Kamalin
Kepala SDN 1 Lateng

Ujian Nasional dan Ujian Sekolah telah usai, baik di jenjang SMA/SMK/MA, SMP/MTs, maupun SD/MI. Perjuangan panjang para pelaku pendidikan serasa telah berakhir. Sebagian pelakon pendidikan beranggapan bahwa ada 2 kewajiban yang harus segera menuai hasil yaitu nilai UN/US yang dapat mengangkat rating sekolah dan kemana para penerus bangsa ini akan melanjutkan pendidikan. Sekolah-sekolah favorit pasti jadi incaran siswa-siswa dan tak kalah pentingnya bagi gengsi para orang tua.

Paradigma lama ini sudah menjadi menu tahunan wajah pendidikan di tlatah Blambangan. Jika di tahun-tahun terdahulu masih ada muka pucat akibat dari bocornya soal atau perdagangan soal, kali ini sudah ada senyum sumringah yang meminimalisir hal tersebut dengan CBT (Computer Based Test) di jenjang SMA/SMK/MA, SMP/MTs. Walau belum semua sekolah menggunakan test dengan sistem ini, namun cukup dijadikan tali kekang perjalanan test yang fair. Mengapa harus fair?

Ada sebuah potret pendidikan yang terbingkai emas dengan tajuk “integritas”. Saat yang lalu potret ini hanya berbentuk habituasi tanpa ada goal yang terstruktur dalam sebuah evaluasi. Integritas bukan Matematika yang dapat diukur dengan angka dalam jangka waktu satu kali asesmen. Integritas juga bukan ilmu eksak yang lain, bukan pula ilmu bahasa dan seni. Namun produk pendidikan justru sangat bisa dilihat dari integritas para pengenyam pendidikan.

Bagaimana tidak, ketika masyarakat mendapati karyawan, staf, atau para tenaga kerja lain menunjukkan sikap tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dan atau tidak disiplin maka publik akan segera memasangkan patrun pendidikan pada yang bersangkutan. Patrun itu adalah integritas. Bukan lagi patrun nilai yang berupa angka atau konversinya, melainkan karakter hasil bentukan produsen pendidikan. Nah, saat ini alat ukur keberhasilan pembelajaran telah meregulasikan bagaimana para peserta didik tidak hanya diukur dari nilai yang berupa angka semata namun sitem perolehan nilainya pun telah pula menuntut integritas para peserta didik. Karena dalam sistem CBT siswa menyelesaikan semua soal secara mandiri dan terampil. Mandiri untuk menyelesaikan soal tanpa ada kesempatan saling berbagi kunci jawaban. Mandiri dalam menyelesaikan soal secara individual. Mandiri meraih yang terbaik sesuai dengan kemampuan diri pribadinya. Tak cukup mandiri namun juga terampil. Terampil mengoperasikan komputer juga cermat dalam memeriksa jawaban dengan sistem komputerisasi.

Tidak berlebihan jika dua jempol diacungkan untuk sistem ini. Tidak perlu memberikan nilai khusus untuk integritas dan keterampilan namum membuat konsep asesmen yang dapat mengukur integritas dalam proses asesmen adalah langkah yang smart. Surviver di era globalisasi bukanlah yang kuat dan besar namun yang cermat dan cepat. Salah satunya melalui teknologi informasi, dan CBT adalah salah satu sarana mempersiapkan generasi muda menjadi yang cermat dan cepat.

Bila akhir dari proses asesmen mungkin masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan karena nilai yang diperoleh belum menjadi yang terbaik dari yang baik, hal ini belumlah menjadi sebuah harga mati. Menyesuaikan sistem yang baru bukanlah hal yang sederhana jika dilakukan secara berjamaah. Bukan potret buruk pula namun perlu pembenahan SDM dalam menyongsong perubahan. Ini bukan lagi sebuah penawaran, namun desakan dari sebuah perubahan bagi masing-masing penyelenggara pendidikan untuk mempersiapkan diri para siswa agar mampu menghadapi perubahan. The “21st Century Skills” movement sudah tidak terelakkan. Sekali lagi nilai UN bukan final destination, namun proses meraihnyalah yang menjadi fokus perhatian.

UN SMA/SMK/MA, SMP/MTs dengan sistem CBT telah mampu membuka sistem pendidikan nampak lebih cerah, bagaimana dengan SD/MI? Sistem evaluasi di jenjang sekolah dasar masih menggunakan paper and pencil test dengan bentuk soal yang sama rasa dan rata untuk semua latar belakang yang heterogen. Seperti tahun-tahun sebelumnya pengerjaan soal US ditorehakan dalam lembar kerja yang dikoreksi dengan cara scanning, hal ini bertujuan untuk menjaga akurasi proses pengkoreksian. Terlepas dari hal tersebut mari kita tengok tujuan akhir dari masing-masing proses pembelajaran.

Sama halnya dengan jenjang SMP dan SMA, sebenarnya potret dominan pendidikan adalah karakter siswa. Bukan karakter  yang hanya fokus pada morality namun juga yang mampu memengaruhi etos kerja, semangat belajar, dan sikap belajar. Kembali lagi pada proses perolehan nilai yang berupa angka. Jika dalam proses asesmen masih “menghalalkan” segala cara maka akan menjadi stigma dengan hasil yang “kopong”. 

Nilai angka yang didewakan hanya akan menjadi jerat ruang integritas. Konsep pendidikan dasar lebih pada bagaimana seoarang anak dapat mengetahui cara belajar, learning how to learn. Hal ini merupakan langkah awal mempersiapkan siswa belajar di masa yang akan datang. Kesiapan dan mempersiapkan diri siswa lebih dibutuhkan dari pada nilai angka semata. Nilai US di jenjang SD bukanlah satu-satunya tiket masuk menuju ke jenjang SMP karena selama proses pembelajaran sekian tahun di sekolah dasar akan terakumulasi sebagai syarat utama untuk mendaftarkan diri ke jenjang SMP/MTs. Sehingga tanpa harus mengesampingkan pentingnnya nilai US, karena pemerintah juga membutuhkan alat ukur keberhasilan pendidikan ini, maka mempersiapkan siswa agar tidak terengah-engah di jenjang lebih tinggi adalah langkah bijak bagi pelakon pendidikan dan para orang tua.

Usia sekolah dasar adalah masa dimana anak belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bahkan juga dengan dirinya sendiri yaitu pentingnya mengetahui gaya belajar diri mereka sendiri. Oh… mengapa penting? Setiap individu adalah unik dan keunikkannya memengaruhi gaya belajar masing-masing individu. Bagaimana bila dalam satu kelas memiliki 4 gaya belajar namun guru hanya mampu mengajar untuk melayani 1 gaya belajar siswa saja? Apa yang terjadi pada siswa lainnya yang tentu tidak match dengan pelayanan guru? Tidak salah jika disebutkan bahwa kemampuan untuk mengetahui gaya belajar merupakan pintu pembuka yang efektif bagi seorang anak dalam belajar.

Tak cukup gaya belajar saja namun menyesuaikan dengan ragam perubahan yang datang silih berganti juga bukan hal sederhana bagi anak usia sekolah dasar. Mari kita ambil salah satu contoh tentang  tekhnologi. Tidak semua orang tua dan guru mampu mengedukasi siswa dalam pemanfaatan tekhnologi. Sehingga perlu juga belajar menyesuaikan dan menggunakan tekhnologi. Semua hal dalam rangka “belajar”.

Tak kalah pentingnya adalah bagaimana pengetahuan yang siswa peroleh dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah yang muncul dalam kehidupannya sehari-hari. Pengetahuan menjadi alat dalam “belajar” hidup berorganisasi, utamanya di lingkup terdekatnya, yaitu keluarganya, teman bermainnya, ruang kelasnya, lingkungan sekolahnya, dan tetangganya. Di sinilah pembelajaran menjadi bermakna. Sehingga ilmu pengetahuan bukanlah “diktat” yang akan digunakan saat mereka berjuang menyelesaikan soal-soal US saja. Kemandirian dalam menyelesaikan soal dan menjaga integritas dirilah yang lebih dominan dalam proses menyelesaikan soal US.

Teachers open the door, but you must enter by yourself- .

Zen Proverb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *